Aku lelah…

Aku anak perempuan bungsu yang sedari kecil sudah dipaksa untuk mandiri. Aku bukan anak yang setiap kali punya keinginan langsung dikabulkan oleh orang tuaku. Ibuku bahkan mengajarkan bahwa ‘jika kamu menginginkan sesuatu, usahakan sampai keinginanmu terwujud’.
Aku tak sempat merengek, aku tak sempat bermanja-manja, aku dibentuk menjadi ‘warrior’ semenjak kecil. Aku bahkan lupa apakah aku pernah menangis karena dinakali oleh temanku? Rasanya tidak. Yang kuingat suatu kali aku pulang ke rumah dan mengadu pada Ibu bahwa aku dinakali oleh temanku, Ibu menjawab “kalau kamu berani, lawan, kalau tidak, kamu tidak usah main”.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mengadu tentang apapun yang terjadi padaku di luar rumah. Semua aku hadapi sendiri Pak, Bu …

Bertahun-tahun aku menjalani hidup untuk menjadi serba bisa, menjadi kuat seperti yang Ibu Bapak inginkan. Tapi aku juga seorang anak, anak yang butuh pelukan, butuh di dengarkan, yang aku tidak cukup mendapatkan itu selama aku menjadi anak Bapak dan Ibu.
Bukan aku menyesal menjadi anak Bapak Ibu, aku bangga menjadi anak kalian. Kalian hebat mencetak kami menjadi ‘warrior’.
Tetapi ternyata menjadi serba bisa dan kuat selama bertahun-tahun itu melelahkan, sungguh hidup selama ini dalam ‘survival mode’ rasanya sangat melelahkan.

Aku lelah menjadi kuat dan mandiri!


Kehilangan

Tahun 2025 tidak begitu ramah padaku. Aku kehilangan orang-orang terdekatku.
Bapak harus berpulang setelah beberapa bulan berjuang dengan sakitnya di usia senja.
Aku dan Bapak tidak sedekat anak perempuan lain dengan ayahnya. Hubungan kami tidak mesra tapi juga tidak bisa dibilang tidak baik. Bagaimanapun hubunganku dengan Bapak, aku tetap saja merasa kehilangan sosok Ayah, meski peranannya tidak 100%.

Tak lama setelah Bapak berpulang, istri Bapak yang lebih sering kupanggil Tante, kadang Mamace, juga akhirnya berpulang. Semua orang mengatakan Bapak dan Mamace seperti ‘cinta sejati’ yang tak ingin terpisah satu sama lain. Mamace seperti kehilangan partner hidupnya, padahal dalam kesehariannya mereka juga tidak jarang berdebat karena beda pendapat.

Kesehatan Mamace menurun drastis sepeninggal Bapak, lalu kurang dari 100 hari, Mamace juga berpulang. Rasanya belum lama kami mengurus sebuah pemakaman, dengan jeda yang tak lama kami kembali ke pemakaman yang sama untuk mengantar Mamace.

Sama seperti hubunganku dengan Bapak, aku dengan Mamace juga tak begitu dekat, kami sering sekali berbeda pendapat, berbeda juga cara mengemukakan pendapat dan memiliki sudut pandang yang bertolak belakang, tapi tak pernah sedikitpun aku membencinya, aku menghormati pilihan Bapak sejak mereka menikah. Bagaimanapun hubunganku dengan Mamace, aku tetap merasa kehilangan.

Kehilangan tetap kehilangan, besar atau kecil, dekat atau jauh, rasanya sama saja, menyisakan kesedihan.